KAMPUNG KAPITAN PALEMBANG


KAMPUNG KAPITAN JEJAK PERADABAN TIONGHOA DI PALEMBANG

(Lambang pluralism, hubungan harmonis antar golongan di Kota Palembang)

(By Adrian Fajriansyah 14/10/2012)

Gambar 1.  Kampung Kapitan Palembang.

PALEMBANG.  Traveler, sahabat Pesona semuanya, Trip Kita kali ini adalah objek wisata Kampung Kapitan, Palembang.  Sebelum menuju ke lokasi tujuan perjalanan kita kali ini, marilah kita nikmati sejenak hiruk-pikuk kehidupan masyarakat Palembang, di pinggiran Sungai Musi.  Ada Benteng Kuto Besak, Pasar 16 Ilir dan perahu-perahu hilir mudik di sepanjang Sungai Musi, Palembang.

Gambar 2.  Benteng Kuto Besak (BKB) Palembang.

Gambar 3.  Suasana hiruk-pikuk warga Palembang di pinggiran Sungai Musi.

Gambar 4.  Sungai Musi Palembang.

Coba kita perhatikan, bangunan-bangunan yang ada dipinggir Sungai Musi, khususnya di Pasar 16 Ilir, semuanya tidak terlepas dari sentuhan arsitektur khas Tionghoa.  Kenapa demikian?  Jawabnya karena memang hubungan Palembang dengan Tionghoa telah sangat harmonis dan manis sejak dahulu kala.  Bahkan jauh sejak jaman Kerajaan Sriwijaya hingga Kesultanan Palembang Darussalam, dan sampai sekarang hubungan itu tetap langgeng terjaga dengan harmonis dan romantis.  Itulah sebabnya sangat jarang, bahkan tidak pernah terjadi pergolakan sosial antar golongan masyarakat pribumi dan keturunan Tionghoa di Kota Palembang.

Tidak tahu kapan persisnya pertama kali etnis Tionghoa menginjakkan kaki di Palembang, namun para ahli sejarah sepakat itu terjadi sejak masa Kerajaan Sriwijaya.  Kita ketahui sendiri hubungan dagang antara Kerajaan Sriwijaya dengan Pemerintahan Cina sudah terjalin sangat lama, bahkan sangat erat.

            Menilik kembali ke masa lalu, banyak sekali contoh kehidupan harmonis yang sangat erat antar pribumi Palembang dan keturunan Tionghoa.  Hubungan di masa lalu juga yang membuat pertalian etnik antar pribumi Palembang dan Tionghoa sangat erat terasa.

Tahukah kalian bahwa isteri ketiga Sultan Mahmud Baddarudin I adalah orang asli dari daratan Tionghoa, sang Tuan Putri itu memiliki nama Palembang Mas Ayu Ratu.  Lalu ada pula kisah cinta Romeo and Juliet versi Palembang di Pulau Kemaro, yang bercerita tentang kisah cinta abadi antara Putri Palembang bernama Fatimah dan Pangeran dari Tiongkok bernama Tan Bun An.  Lalu dalam pembangunan Benteng Kuto Besak dan Masjid Agung Palembang, juga tidak terlepas dari sentuhan para arsitektur, mandor dan tenaga kerja dari Tionghoa.  Di jaman kolonial para warga Tionghoa berperan sangat penting dalam memainkan roda perekonomian Kota Palembang dari Pasar 16 Ilir.  Semua bukti sejarah itu menunjukkan bahwa hubungan harmonis antara pribumi dan warga keturunan Tionghoa di Palembang, sudah terjalin sangat erat nan harmonis dan dinamis serta berbumbu kisah romantis.

            Kampung Kapitan, Palembang, Sabtu, 6 Oktober 2012.  Hari itu Aku (Adrian Fajriansyah) dan sahabatku Abi (Kgs M Habibillah) pergi mengitari pinggiran Sungai Musi, Palembang.  Tujuan perjalanan kali ini adalah melihat jejak peradaban masa lampau yang masih tersisa di Kota Palembang, yaitu Kampung Kapitan.  Kami sempat kebingunan mencari lokasi kompleks wisata Kampung Kapitan tersebut.  Untunglah ada bapak tua penarik becak yang member tahukan kami letak pasti Kampung Kapitan, karena asal tau saja hampir semua warga termasuk PolPP yang aku tanyakan letak Kampung Kapitan menjawab tidak tau, sedikit dilematis memang, apakah karena mereka orang pendatang, atau karena Kampung Kapitannya yang kurang dipromosikan.  Padahal mereka semua tinggal dan beraktivitas berdekatan dengan Kampung Kapitan itu.

            Setelah bertanya sana-sini, akhirnya kami sampai di Kompleks Wisata Kampung Kapitan.  Kesan kuno menyergapi kami saat pertama kali memasuki lorong menuju Kampung Kapitan, hampir semua bangunan yang ada di sana sudah berumur tua, kusam, reok, namun antik dan unik.  Tempat seperti ini sudah jarang di temukan di Palembang, dengan pesatnya arus pembangunan di kota ini, memaksa tempat-tempat kuno seperti di Kampung Kapitan terpinggirkan bahkan tergusur oleh moderenitas kota.  Untunglah satu tempat bernama Kampung Kapitan dapat bertahan di tengah terjangan arus modernisasi itu.

Gambar 5.  Plang penunjuk kawasan objek wisata Kampung Kapitan, Kelurahan 7 Ulu, Kecamatan Seberang Ulu 1, Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia.

            Memasuki kompleks ini, kita akan dibawa ke masa-masa awal kehidupan Palembang di abad antara XVI hingga XVIII.  Dan memang bangunan-bangunan di Kampung Kapitan ini telah berusia lebih dari satu abad, bahkan konon katanya ada yang telah berumur lebih dari 400 tahun.

            Secara spesifik pembatas Kampung Kapitan terletak di bagian utara tepian Sungai Musi hingga ke tepian Jl. K.H.A. Azhary di bagian selatan.  Bagian barat berbatasan dengan Sungai Kelenteng (namun sayang saat ini sudah mati) dan bagian timur berbatasan dengan Sungai Kedemangan.  Tepatnya Kampung Kapitan terletak di Kelurahan 7 Ulu, Kecamatan Seberang Ulu I, Palembang.  Luas keseluruhan komplek perkampungan ini kurang lebih adalah 20 hektar.  Di masa lalu perkampungan tersebut dijuluki sebagai China Town dan menjadi salah satu pusat perdagangan kala itu.

Gambar 6.  Rumah Kapitan, di Kampung Kapitan Palembang.

Ditilik dari sejarah silsilah leluhur Kapitan Tjoa Ham Hin, kampung tersebut telah ada sebelum tahun 1850 Masehi.  Kapitan Tjoa Ham Hin adalah generasi ke sepuluh dari leluhur pertamanya.

Gambar 7.  Apabila diperhatikan lebih seksama, bentuk bangunan rumah kapitan ini hampir mirip atau bisa dikatakan miniatur rumah residen Belanda (Museum Sultan Mahmud Badarudin II) di pinggiran Sungai Musi, Palembang.

Dinamakan Kampung Kapitan adalah sebagai penanda keberadaan komunitas marga Tionghoa yang mendiami kampung tersebut.  Kapitan sendiri berasal dari panggilan seorang Kapitan Cina di Palembang bernama Kapitan Tjoa Ham Hin, beliau adalah Kapitan Cina terakhir di Kota Palembang.  Kedudukan Kapitan Tjoa Ham Hin didapatkan setalah menggantikan ayahnya yang bernama Mayor Tjoa Tjie Kuan.

Gambar 8.  Salah satu keunikan rumah di Kampung Kapitan, adanya percampuran gaya arsitektur antara budaya Palembang, Belanda dan tentu saja Cina.

Kapitan (Kapten) atau Temenggung pada jaman Belanda memiliki kekayaan berlimpah.  Kedudukan Kapitan (Kapten) atau Temenggung tersebut kira-kira di bawah walikota (residen), namun di atas camat.  Seorang Kapitan (Kapten) atau Temenggung tersebut memiliki wibawah dan sangat dihormati oleh masyarakat.

            Rumah Kapitan ini berukuran asli 22 x 25 meter.  Keturunan Kapitan yang menjadi ahli waris rumah itu, membuat bangunan tambahan di bagian belakangnya, sehingga ukuran panjangnya menjadi 50 meter.  Ruang utama rumah tersebut terdapat meja sembahyang dan diletakkan beberapa pedupaan (tempat hio) serta patung para Toa Pe Kong.  Salah satunya adalah Toa Pe Kong Sie, yang merupakan leluhur dari keluarga Tjoa.  Leluhur Kapitan Tjoa, dari sumber semacam buku harian milik keluarga mereka, adalah Sie Ti.  Konon Sie Tie datang ke Palembang pada masa peralihan dari Kerajaan Sriwijaya ke Kesultanan Palembang Darussalam, yaitu sekitar abad XVI hingga XVIII.

Gambar 9.  Terdapat pedupaan di depan rumah yang ada di Kampung Kapitan.

Kampung Kapitan awalnya dihuni oleh keluarga besar nenek moyang Kapitan Tjoa Ham Hin, yang berasal dari Provinsi Hok Koan, Kabupaten Ching Chow.  Dikisahkan pada awalnya mereka datang pertama kali ke Palembang dengan membawa keluarga beserta jajarannya seperti juru masak dan anak buah serta dayang-dayang.  Diperkirakan rombongan tersebut berjumlah total hingga ratusan orang, namun seiring dengan perjalanan waktu banyak dari mereka dan keturunannya menyebar ke berbagai daerah lain.  Di Kampung Kapitan sendiri saat ini tinggal menyisahkan belasan Kepala Keluarga (KK) saja.

Gambar 10.  Keadaan rumah-rumah kuno yang telah berusia lebih dari 2 abad di Kampung Kapitan, Palembang.

            Menurut sumber, dari budayawan dan ahli sejarah Palembang, Djohan Hanafiah, timbulnya Kampung Kapitan berkaitan erat dengan awal runtuhya Kerajaan Sriwijaya pada abad XI dan munculnya Dinasti Ming di Cina pada abad XIV.  Kampung Kapitan adalah salah satu situs peninggalan peradaban awal keturunan Tionghoa di Palembang.  Akan tetapi, mayoritas bangunan yang ada di kampung tersebut, lebih kental dengan nuansa gaya arsitektur perpaduan antara budaya Palembang dan Belanda, serta tentu ada sentuhan Cinanya.

            Kampung Kapitan terdiri dari 15 kelompok bangunan berupa rumah panggung.  Kampung ini pada awalnya adalah tempat tinggal seorang perwira keturunan Cina berpangkat kapitan (kapten) yang bekerja untuk pemerintah kolonial Belanda.  Lahan di Seberang Ulu memang telah disiapkan untuk para pendatang dari luar Palembang.  Keunikan kampung ini adalah bentuk rumah yang mengadopsi tipologi rumah masyarakat Cina dengan courtyard (ruang terbuka) di bagian tengahnya, berfungsi sebagai sirkulasi udara dan masuknya cahaya.

Gambar 11.  Rumah panggung berarsitektur perpaduan antara Palembang dan Cina di Kampung Kapitan.

            Keunikan lain adalah tradisi dari nenek moyang yang masih terus dijaga, dalam penempatan altar pemujaan bagi leluhur yang berada di interior rumah.  Banyak sekali terjadi perpaduan budaya antara masyarakat asli Palembang dengan para warga keturunan Tionghoa.  Perpaduan ini dapat dipahami, karena memang pada masa akhir pemerintahan Kesultanan Palembang Darussalam, masyarakat Tionghoa mulai membaur dengan warga asli Palembang.

Gambar 12.  Salah satu rumah di Kampung Kapitan yang sudah mulai reok, lapuk dan rapuh di makan usia.

Dengan membaurnya warga etnis Tionghoa dengan warga pribumi Palembang, banyak terjadi pertukaran budaya, dan tidak dipungkiri terjadi perkawinan antara mereka.  Hingga para keturunan Kapitan Tjoa Ham Hin pun menyatu menjadi satu dengan rakyat biasa.

            Di era pemerintahan kolonial Belanda, warga Tionghoa mengalami perubahan dari masyarakat terawasi, menjadi masyarakat yang memiliki kedudukan penting dan istimewa.  Keadaan tersebut, membawa pengaruh terhadap seni arsitektur bangunan warga Tionghoa, termasuk di Kampung Kapitan.  Pada kolom penyangga di bagian teras rumah dahulu menggunakan bahan kayu, kemudian berganti dengan kolom bata bergaya eropa klasik, tentunya dengan proporsi yang sesuai ukuran bangunan.

Gambar 13.  Rumah Kapitan Tjoa Ham Hin di Kompleks Kampung Kapitan, usianya diperkirakan telah lebih dari 2 abad.

            Di Kampung Kapitan terdapat 3 bangunan utama, bangunan tersebut adalah bangunan terbesar dari semua yang ada di kampung tersebut.  Ketiga bangunan itu masing-masing menghadap ke arah Sungai Musi.  Rumah di tengah berwarna putih, adalah rumah yang paling sering menyelenggarakan pesta dan sebagai tempat pertemuan.  Sedangkaan kedua rumah yang mengapitnya di sebelah timur dan barat berfungsi sebagai rumah tinggal.

Gambar 14.  Sekarang di tengah-tengah kompleks Kampung Kapitan telah dibangun taman dengan tempat duduk, agar para pelancong dapat menikmati suasana dengan santai di perkampungan kuno tersebut.

            Bila ingin ke Kampung Kapitan tidaklah sulit, dari arah Jembatan Ampera telah dibuat jalan dengan blok bata yang rapi, dipinggiran Sungai Musi pun telah dipasangi pagar pembatas, lalu telah dibuat dermaga kecil untuk para nelayan dan bongkar muat barang serta para wisatawan yang ingin mengarungi Sungai Musi, jarak jalan itu kurang lebih 800 meter dan anda tidak akan bosan selama perjalanan.

Gambar 15.  Sayangnya banyak dari bangunan-bangunan kuno di Kampung Kapitan mulai rapuh, bila tidak diperhatikan besar kemungkinan bangunan tersebut akan rubuh.

            Sayangnya perhatian pemerintah pada asset situs wisata sejarah satu ini kurang maksimal.  Bila tidak diperhatikan lebih maksimal oleh pemerintah, bukan tidak mungkin bangunan-bangunan kuno nan anggun di Kampung Kapitan, bakal rusak tergerus usia yang semakin tua.  Terlihat dari keadaannya sekarang, bangunan-bangunan kuno di Kampung Kapitan, walaupun masih kokoh tegak berdiri, banyak dari sudut-sudut dan bagian bangunan telah rusak dan rapuh.  Mari selamatkan cagar budaya milik Palembang ini, supayah generasi yang akan datang tetap bisa menikmati keanggunannya.

Gambar 16.  Taman di tengah-tengah Kampung Kapitan ini dibangun menggantikan taman sebelumnya yang rusak tak terurus.

Usia tua memang tidak dapat ditutup-tutupi, wajar saja menelisik dari sejarahnya, bahwa Kapitan Tjoa Ham Hin telah mendiami tempat tersebut sejak tahun 1805 Masehi, artinya Kampung Kapitan telah berusia lebih dari 2,5 abad.  Demikian juga pada kayu penyanggah rumah-rumah yang ada di Kampung Kapitan, telah berusia sangat senjah.  Kayu-kayu bangunan kuno di Kampung Kapitan telah lusuh dan kusam dimakan usia.  Walaupun dinding kayunya tidak rusak, karena bebahan kayu unglen yang terkenal kuat dan tahan selama ratusan tahun.

            Dari hasil liputan langsung Aku dan Abi di lapangan, tampak terlihat mulai adanya pembangunan taman ditengah-tengah kompleks Kampung Kapitan, taman tersebut menggantikan taman lama yang telah rusak tak terurus.  Konon dahulu di bagian depan rumah inti, terdapat dua patung singa sebagai lambang rumah perwira Cina, namun sayang sekarang patung itu telah hilang.

Gambar 17.  Perlu keseriusan dari pemerintah, agar Kampung Kapitan bisa menjadi tujuan wisata andalan di Kota Palembang, setidaknya bisa terus menjaga asset sejarah yang tidak ternilai harganya itu.

            Menurut kabar berita, Kampung Kapitan ini sudah tidak terurus lagi setelah ditinggalkan para keturunan kapitan.  Semakin pudarnya ketenaran Kampung Kapitan, membuat anak, cucu dan cicit dari kapitan tersebut memilih merantau bekerja ke luar Palembang, seperti ke Pulau Jawa dan lainnya.  Selain itu menurut informasi yang didapat, banyak rumah-rumah peninggalan atau warisan dari sang kapitan telah dijual kepada orang lain.  Alasannya adalah faktor kesulitan ekonomi yang menerpa para pewarisnya.  Sangat disayangkan memang, karena pemerintah tidak turut serta membantu atau setidaknya meringankan beban mereka.  Sebab Kampung Kapitan ini bukan hanya milik pewaris sang kapitan, akan tetapi juga adalah warisan bagi semua masyarakat Palembang, sebagai harta warisan peninggalan sejarah yang sangat kaya akan ilmu dan informasi terutama dibidang sejarah.

            Tidak bisa dipungkiri bahwa Kampung Kapitan adalah salah satu bagian unik dari Kota Palembang, memiliki daya pikat tersendiri bagi para pelancong yang berkunjung ke Palembang.  Kampung Kapitan adalah salah satu tanda bukti, bahwa Kota Palembang merupakan sebuah kota tertua dengan peradabannya yang telah maju sejak dahulu kala.  Kampung Kapitan juga adalah lambang pluralism hubungan harmonis nan manis antar umat beragama, adat dan istiadat, serta ras di Kota Palembang.  Dan Kampung Kapitan akan selalu memberikan kerinduan kepada semua orang yang pernah bersentuhan, tinggal dan hidup serta memiliki kenangan manis di sana.

Sejak dahulu kala hingga kini, hubungan harmonis nan manis serta berbumbu romantis antar golongan di Palembang tetap terjaga dengan selaras dan dinamis.  Maka dari itu, kita sebagai generasi penerus adat istiadat budaya dari nenek moyang, harus selalu menjaga hubungan baik dan damai yang indah tersebut, saling hormat-menghormati merupakan kuncinya.  Damailah selalu Indonesia.  Damailah selalu dunia.

NILAI HIDUP:  RUMUS KESUKSESAN

Saudara kita keturunan Tionghoah, keberadaan mereka di Bumi Nusantara telah berlangsung lama dan memiliki tempat spesial bagi perkembangan Indonesia.  Tidak sedikit dari mereka ikut serta rela mati demi kemerdekaan Indonesia, saat masa perjuangan dulu.  Dikemudian hari, banyak dari mereka yang menjadi atlet yang mengharumkan nama Indonesia tercinta, dengan menjuarai berbagai kancah kejuaraan dunia, mulai dari bulutangksi, sepakbola, tenis, dll.

Mereka lahir dari tanah air yang sama, makan dan minum dari sumber alam yang sama, bahkan wafat dan dimakamkan di tanah air yang sama, lalu di masa reformasi semuanya telah memiliki KTP (Kartu Tanda Pengenal) dengan kewarganegaraan yang sama, yaitu Indonesia.  Apalagi yang perlu kita ragukan, atas nasionalisme mereka bagi tanah air tercinta Indonesia.

Kemudian bagaiamana orang-orang etnis Tionghoa mampu menyebar ke seluruh penjuru dunia, bahkan mereka bisa sukses di negeri orang.  Aku kira selain dari faktor sifat dan mental mereka yang selalu mempraktikan pepatah teladan “Di mana langit dijunjung. Di situ bumi dipijak”, mereka pula memiliki bakat alam sebagai seorang perantau yang ulung.  Selain dari itu, ada unsur magis dari rumus hidup berupa usaha, kerja keras dan doa.

Berbicara tentang usaha, kerja keras dan doa.  Aku memiliki presepsi sendiri dengan rumus itu.  Aku meyakini suatu rumus kesuksesan harus diawali dengan ikhtiar, usaha, doa dan tawakal, kalau disingkat bukan DUIT (Doa, Usaha, Ikhtiar dan Tawakal) melainkan IUDT (Ikhtiar, Usaha, Doa dan Tawakal).

Kenapa rumusku seperti itu, karena kesuksesan akan selalu diawali dari niatan seseorang, yang berarti Ikhtiar berada diurutan pertama.  Seberapa besar niat seseorang ingin sukses, akan sangat berpengaruh pada pencapaian hasilnya kelak, semakin kuat niatnya maka dengan ridho Tuhan akan semakin baik hasil yang bakal dipetik.  Maka dari itu bulatkan Ikhtiar atau niat kita dari sekarang untuk menjadi orang yang sukses, yakin kita dapat meraih semua mimpi-mimpi yang diinginkan.

Tiada kesuksesan tanpa usaha, menjadikan Usaha diurutan kedua dalam rumus suksesku.  Semakin keras kita berusaha, maka semakin besar peluang kita meraih kesuksesan itu.  Usaha adalah tindakan nyata dari perjuangan kita untuk mencapai kesuksesan.  Kerahkan semua tenaga dan lakukan usaha sekeras mungkin.  Yakinlah usaha yang kita lakukan saat ini, akan dibalas oleh Tuhan setara dengan jumlah keringat yang telah kita keluarkan.  Tidak ada usaha yang sia-sia, kristalisasi keringat kita akan terasa manis di akhir usaha.

Doa adalah penyempurna dari usaha, oleh karena itu aku tempatkan Doa diurutan ketiga.  Niat dan usaha yang telah kita lakukan akan terasa hambar tanpa doa.  Doa akan menenangkan jiwa kita, karena dengan doa kita yakin bahwa Tuhan telah melihat dan menilai niat dan usaha kita.  Tuhan akan menentukan bisa atau tidak kita mencapai kesuksesan, Tuhan akan mengakumulasi niat dan usaha serta doa-doa yang kita panjatkan, setiap doa yang dipanjatkan pasti didengar oleh Tuhan.  Doa pula yang akan meneduhkan hati yang sedang gundah.

Tawakal adalah nilai ikhlas, saat dimana kita berserah diri kepada Tuhan.  Aku tempatkan Tawakal ini diurutan keempat atau terakhir, karena diakhir niat, usaha dan doa yang dapat kita lakukan tinggal pasra dan berserah diri kepada-Nya yang maha kuasa.  Seberapa besar niat, sebarapa keras usaha dan seberapa rajin serta tulus doa kita, pasti dijamah oleh Tuhan.  Tuhan tidak pernah tidur, Tuhan akan selalu menjamah diri kita.  Yang dapat kita lakukan diakhir semua itu adalah berserah diri, pasrah dan tawakal kepada Tuhan yang maha esa.

Namun, ingat satu hal “Manusia hanya bisa berencana dan berusaha serta berdoa, tapi Tuhanlah yang maha tahu dan menentukan segalanya”, Tuhan tahu mana yang baik dan buruk untuk takdir seorang hambah (manusia).  Tuhan menentukan segalanya, yakinlah bahwa Tuhan selalu menyayangi hambanya, Tuhan punya rencana baik untuk kita semua.  Oleh karena itu, kita sebagai hamba harus selalu berpikir positif dan berperasangka baik dalam setiap rencana yang Tuhan rancang.

Ikhlaskan hati dan diri kita.  Tuhan akan menjamah setiap mimpi dan cita-cita manusia yang telah berusahakan dengan segala niat, usaha dan doa yang rajin serta baik.  Sebuah pepatah arab berbunyi “Man Jadda Wajada” artinya siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil.  Jangan pernah remehkan impian, walau setinggi apa pun.  Sungguh Tuhan Maha Mendengar dan Mengetahui.

Aku yakin, kesuksesan yang dicapai oleh para perantau di seluruh dunia, adalah hasil aplikasi mereka yang menerapkan dengan baik rumus sukses tersebut, setidaknya walaupun berbeda, tapi makna dan tujuan rumus sukses tersebut mirip atau mungkin sama.  Pada kenyataannya orang sukses tidak akan pernah bercerita tentang seberapa sering ia sukses, tapi seberapa sering dia terjatuh dan bangkit lagi lalu berlari.  Ikhtiar atau niat saja tidak akan pernah menjadi kenyataan tanpa usaha, usaha tidak akan sempurna tanpa doa, dan doa tidak akan tercapai bila hati tak ikhlas tawakal berserah diri memohon ridho serta belas kasih dari Tuhan yang maha esa.

Sekali lagi aku berpesan, perbedaan itu sangat indah.  Hidup tanpa warna tidak akan menjadi indah.  Keberagaman akan saling mengisi dan menyempurnakan kehidupan.  Siapa yang dapat bersatu dalam perbedaan, maka pasti akan mampu membuat simpul ikatan yang sangat erat bahkan kuat.  Rantai pemersatu suatu negara adalah keharmonisan hidup masyarakatnya, saling menghormati adalah kuncinya.  Masyarakat yang kuat dan bersatu akan mengiring kehidupan suatu bangsa dan negara menuju tahta keharmonisan, suatu lambang dari kejayaan dan kesuksesan.  Marilah jaga keselarasan dan keharmonisan serta kedamaian kehidupan sosial, dimulai dari diri kita, keluarga, lingkungan hingga dunia.  Damailah selalu Indonesia.  Damailah selalu dunia.

39 Komentar

Filed under Catatan Pikiran Ku, Dunia Fotografi, Indonesia Di Dada Ku, Kisah Dan Pengalaman Ku, Sejarah Dunia

39 responses to “KAMPUNG KAPITAN PALEMBANG

  1. kereeeeeeeeeenn bangeettt aku share yaaaa ke grup Sekolah Kertas Putih! 🙂

  2. Bagus yah ternyata Kota Palembang, aku belum pernah kesana,… yang aku tau cuma empek2 doank,.. hehheeee

  3. bagus banget yah.. aku blm prnh k palembang sm skali, kynya bisa di masukin dlm daftar travelling nih 🙂

  4. 'Ne

    wooww ternyata Palembang memang cantik juga.. aku pengen banget lihat sungai Musi dan setelah baca tulisan ini jadi pengen ke Kampung Kapitan ya.. rumahnya unik-unik..
    *tapi jauh banget ya kalau dari Jawa Tengah ke sana 😆

  5. randompeps

    gue baru beberapa kali ke palembang tapi sumpah deh berkesan banget hahahaha apalagi waktu bokap ngajak ke prabumulih tempat beliau dinas dulu. huuuu mantep. jadi kangen pempek palembang di depan kantor walikota sama makan sambil lihat jembatan ampera 😆

    • adrian10fajri

      pempek depan walikota namanya Pempek Saga.. hhehe

      dulu bokap kerja di mana??

      ayo ke palembang lagi… hehe masih banyak hal menarik yg harus mas bro coba.. ^_^

      • randompeps

        ouch! gue nggak inget sih namanya hahaha bokap dulu kerja di muaraenim. prabumulih mah di padang ya? gue lupa 😆 well, next time gue ke sana. masih penasaran sama tekwan asli palembang *penting abis* masbro? gue cewek 😀 siiiip!

      • adrian10fajri

        prabumulih juga di Sumsel… 2 jam klo ga macet dari palembang.. hehehe

        Muaraenim 2 jam lebih jauh dari Prabumulih… 🙂

        jangan tekwan doank,, modelnya jg harus dicoba.. hehe

        oohh.. maaf neng,, hahaha sorry sorry… ^_^

      • randompeps

        nah bener hehehe soalnya pernah diajak ke kedua tempat itu dulu hahahaaa model apa sih? pempek jenis lain? oooo dan satu lagi, gue kangen pempek yang pake telor itu. apa namanya? huuu susah nyari di sini 😥

      • adrian10fajri

        Model itu kayak tekwan, juga pake kuah sop udang, bedanya klo model diisi tahu dan kalau tekwan pentol2 ikan kayak bakso.. yang pasti maknyus.. hehehe

        pempek pake telor namanya Pempek Kapal Selam.. ^_^

        *uupps kena deh.. ga nyangka saya dapet uang 100 ribu yah.. hahaha

      • randompeps

        wah kayaknya asik tuh pake kuah sop udang 😯 jadi penasaran hihihi bukan kapal selam Dri, tapi yang telornya kayak telor dadar. apasih namanya duuuh enak juga ituuuu. heeem 😆

      • adrian10fajri

        Lenggang… nah kali ini bener dapat uang 100 ribu yah.. kan ini acara Kena Deh.. hahaha

        iyah. asik banget,, kuah udangnya maknyus.. emang di pempek saga kmrn lum sempat coba yah??

      • randompeps

        iya! lenggang maksud gue hahahaha belom. di saga cuma nyoba pempek kapal selam. ya abes makan selam aja udah bikin kekenyangan :mrgreen:

      • adrian10fajri

        hahaha… nah kamu harus ke sini lagi,, coba tekwan dan model.. bilah perlu saya jadi guide, aku kasih tau tempat makan enak tapi murah.. ^_^

      • adrian10fajri

        di blog ini aku tulis koq artikel tentang lenggang,, model tapi tekwan lum ada.. siapa tau kamu mau nostalgia dg makanan palembang di blog saya.. hehehe

Tinggalkan komentar