SISI KEMANUSIAAN
Lima Tahun Berjuang Mencari Keadilan
(By Adrian Fajriansyah, Sabtu, 12 Oktober 2013)

Yermias Silkaty (66) tinggal di Jakarta. Ditinggalkan kampung halamannya di Desa Oirata, Pulau Kisar, Maluku Barat Daya, Maluku. Tujuannya, mencari keadilan atas kasus kematian anaknya yang terjadi lima tahun silam. Demikian keterangannya saat ditemui di kantor pusat partai politik berlogo banteng, Jakarta Selatan, Kamis sore (26/9).
Sembilan bulan sudah Yermias Silkaty (66) tinggal di Jakarta. Ditinggalkan kampung halamannya di Desa Oirata, Pulau Kisar, Maluku Barat Daya, Maluku. Tujuannya, mencari keadilan atas kasus kematian anaknya yang terjadi lima tahun silam.
Kamis sore (26/9), di kantor pusat partai politik berlogo banteng, Jakarta Selatan, tampak sesosok bapak tua berkulit gelap berpakaian lusu, topi hitam, dan menenteng tas hitam.
Tatapannya kosong. Ia tampak bingung. Tiba-tiba ia mendekati sekumpulan orang yang sedang bercengkrama.
Mulanya, semua orang tak acuh padanya. Namun, melihat ia kebingungan, sejumlah orang mencoba berkomunikasi dengannya.
Yermias lalu memperkenalkan diri dan menceritakan maksud kedatangannya. ”Saya Yermias dari pulau terluar perbatasan antara Indonesia dan Timor Leste. Saya ke sini ingin bertemu anggota Komnas Ham,” ujar pria yang bekerja sebagai pedagang sembako itu.
”Siapa nama anggota Komnas Ham itu pak?” ujar seorang bapak kepada Yermias. Yermias kembali kebingungan, karena tak kenal dan tak tahu nama orang yang ingin ditemuinya itu. ”Tidak tahu, saya hanya ingin melaporkan kasus kematian anak saya,” ucap Yermias.
Orang-orang di sekitarnya penasaran. Lalu, bertanya apa penyebab kematian anaknya.
Tiba-tiba, Yermias membuka tasnya. Ia menunjukkan kumpulan foto yang di-laminating dalam selembar plastik ukuran A4. Ada tujuh foto dalam selembar plastik itu, empat pas foto pria dan tiga foto ukuran 4R gambar jasad seorang pria. Sekilas wajah pria di pas foto dan jasad pria di foto 4R itu sama.
Ternyata, setelah Yermias menjelaskan, foto-foto itu merupakan sosok anaknya yang bernama Johan Silkaty. Empat pas foto itu adalah Johan ketika masih bersekolah. Tiga foto jasad itu adalah Johan ketika ditemukan tewas.
Berkisah Yermias, Johan adalah anak keempatnya yang ketika tewas berusia 28 tahun. Ia bekerja sebagai tukang ojek. Biasanya ia mangkal di dermaga tak jauh dari rumahnya.
Tanggal 19 April 2008, Johan berangkat kerja seperti biasa sekitar pukul 6 pagi. Namun, sekitar pukul 8 pagi, ada warga yang datang ke rumahnya mengabarkan Johan meninggal. ”Nelayan menemukan jasad Johan mengapung di laut, dekat dermaga,” katanya.
Saat ditemukan, tutur Yermias, jasad Johan berpakian merah garis biru-putih dan berkolor tanpa ditutupi celana. Matanya lebam dan mengeluarkan darah, dari bibirnya keluar darah dan busa putih, sementara tubuhnya sudah kaku.
Ayah lima anak itu menduga, anaknya tewas karena dirampok. Sebab, jasad tersebut ditemukan tanpa celana dan dompet yang ada didalam celana. Bukti lain, wajah dan tubuh anaknya penuh luka lebam yang diduga akibat pukulan benda tumpul.
Semakin kuat dugaanya, ketika dompet Johan ditemukan tak ada isinya lagi. ”Sekitar tiga hari kemudian, dua anak saya datang lagi ke dermaga untuk mengambil dompet Johan yang ditemukan oleh seorang aparat. Dompetnya kosong, hanya ada SIM,” tutur Yermias.
Bagi Yermias, Johan adalah anak pendiam yang tidak pernah ada masalah dengan orang lain semasa hidupnya.
Tak diusut
Yang menjadi kekecewaan Yermias, kasus kematian Johan tak diusut tuntas oleh kepolisian setempat. ”Saya melaporkan kasus itu ke polisi Maluku Barat Daya dan polisi Maluku, tapi mereka tidak mengusutnya,” ujarnya mengeluh.
Yermias tak patah arang. Tahun 2009, ia dan isterinya, Eba Silkaty (65) berangkat ke Jakarta.
Di Jakarta, mereka melaporkan kasus tewasnya Johan ke Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabespolri) dan Komisi Nasional Perlindungan Hak Asasi Manusia (Komnas Ham).
Sesudah melaporkan kasus itu, ia dan isterinya kembali ke kampung. ”Saya disuruh menunggu. Katanya, kasus akan diproses,” ucapnya.
Sayangnya, bulan berlalu berganti tahun kasus itu tidak juga diusut tuntas. Yermias dan keluarga sempat putus asa.
Tahun 2011, Yermias dan keluarga kembali bertekat untuk menuntaskan kasus tewasnya Johan. Hal itu dipicu kasus pembunuhan wartawan di tempatnya.
Yermias mengatakan, kasus tewasnya wartawan itu persis dengan tewasnya Johan. Jasad wartawan itu ditemukan mengambang di laut. Bedanya, dalam sebulan kasus itu tuntas. Seorang Polisi Air (Polair) sebagai pelakunya.
”Itu yang kami sesali. Kasus anak saya sudah bertahun-tahun tidak tuntas, sedangkan kasus wartawan itu sebulan bisa tuntas,” katanya berkeluh-kesah.
Ke Jakarta
Desember 2012, dengan modal Rp 50 juta dari penghasilan berdagang dan sumbangan anak-anaknya, Yermias dan isterinya kembali berangkat ke Jakarta.
Selama di Jakarta, mereka kost di Jalan Warakas VI, Gang 21, Nomor 28, Jakarta Utara. Adapun biaya kost itu Rp 200.000 per bulan.
Yermias berjuang setiap hari mengunjungi sejumlah tempat untuk mengadukan kasus anaknya. Sementara isterinya menjadi pemungut gelas plastik untuk modal bertahan hidup.
Sejumlah tempat telah dikunjungi oleh Yermias. Ia pernah ke Mabespolri, ke Komnas Ham, hingga ke Istana Presiden. Namun, hingga kini hasilnya masih nihil. Bahkan, ke stasiun tv swasta pun ia ditolak karena tidak ada segmen untuk kasusnya.
Namun, Yermias tidak pernah putus asa. Setiap hari ia mencoba ke Istana Presiden. Ia ingin mengadukan kasus itu kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Malangnya, kata Yermias, presiden tidak pernah bisa ditemui. ”Saya ke sini bukan karena dendam. Saya cuma cari keadilan, saya ingin kasus anak saya bisa tuntas,” tuturnya dengan mata berkaca-kaca.
Yermias mengingatkan kita pada kasus serupa yang dialami oleh Indra Azwan, seorang bapak asal Malang, Jawa Timur. Indra sempat membuat heboh ketika membuat aksi jalan kaki dari Malang ke Jakarta untuk bertemu presiden. Indra menuntut keadilan hukum atas kematian anaknya yang ditabrak lari oleh oknum polisi pada tahun 1993 silam.
Kisah mereka berdua merupakan contoh kecil dari gambaran umum tentang sulitnya mencari keadilan hukum di negeri ini.
Komisioner Komnas Ham Ansori Sinungan mengatakan, diskriminasi hukum seperti itu lumrah di Indonesia. ”Setiap orang kecil yang tidak memiliki uang sulit sekali mendapatkan keadilan hukum, sedangkan orang kaya bisa mendapatkan keadilannya. Padahal, setiap warga negara di mata hukum adalah sama,” ujarnya.
Ansori menerangkan, jika memang kasus itu sudah dilaporkan ke kepolisian dan pihak kepolisian kesulitan mengusutnya karena minim barang bukti, maka paling tidak pihak kepolisian harus mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3). Tujuannya, agar keluarga yang ditinggalkan ada kejelasan mengenai kasus itu.
Untuk saat ini, Ansori menyarankan Yermias kembali melaporkan kasusnya ke Komnas Ham dengan sejumlah barang bukti yang lengkap. Nantinya, melalui laporan tersebut, Komnas Ham akan mempertanyakan sampai di mana kasus itu diproses pada pihak-pihak yang bersangkutan. Atau, Yermias bisa langsung melaporkannya ke Inspektur Pengawasan Umum (Irwasum) Polri.
mbrebes mili bacanya
maksudnya???
ijin share, semoga lekas selesai dengan baik
silahkan dengan senang hati… 🙂