KEMISKINAN ACEH
Ironi Negeri Kaya tapi Miskin

Gambar 1. Riki lima tahun usianya, juru parkir pekerjaannya. Anak-anak di usia sebayaku masih asik bermain paling tidak di Taman Kanak-Kanak. Namun, aku tidak. Aku banyak menghabiskan hari-hari ku di jalan bersama teriknya matahari dan panasnya aspal hitam.
Anak sekecil itu berkelahi dengan waktu, demi satu impian yang kerap ganggu tidurmu. Anak sekecil itu tak sempat nikmati waktu, dipaksa pecahkan karang, lemas jarimu terkepal.
Begitulah sepenggal lirik lagu ”Sore Tugu Pancoran” karya musisi Iwan Fals yang persis mengambarkan kondisi Riki, bocah laki-laki berusia lima tahun yang bekerja sebagai tukang parkir di kawasan Jalan Muhammad Jam, Banda Aceh.
Telah lima bulan, Riki melakukan pekerjaan itu bersama ayah tirinya, Usman (50). Mereka berangkat pagi sekitar pukul 8.00 dan baru pulang selepas Magrib sekitar pukul 19.00 ke rumah kontrakan di kawasan Ulee Lheue, Banda Aceh.
Senin (14/4) siang, Kompas menjumpai Riki di tempatnya bekerja. Di tengah terik matahari, anak kedua dari dua bersaudara itu tetap semangat bekerja. Sesekali ia duduk di tepian ruko dengan alas kardus sembari menunggu pelanggan.
Ketika ada kendaraan datang, mulut mungil Riki lincah meniup pluit merah yang tergantung di lehernya. Diaturnya setiap kendaraan yang datang sedemikian rupa agar parkiran dapat menampung banyak kendaraan.
Kadang, pengendara mobil tak menduga ada juru parkir yang mengaturnya karena badan bocah itu baru setinggi 110 sentimeter. ”Geser sedikit kak, biar pas parkirannya,” ujar Riki kepada seorang wanita pengedara mobil yang menyadarkan wanita itu ada juru parkir di sana.
Meski begitu, muka bocah yang ditinggal meninggal ayah kadungnya sejak usia tiga tahun ini ceria tanpa beban. Riki selalu girang bergaul dengan orang-orang yang menyapanya. Banyak pula yang akhirnya iba melihat bocah tersebut.
Tak jarang, para pemilik kendaraan memberikan uang lebih kepada Riki. Sepeda motor harga tiketnya Rp 1.000 dan mobil Rp 2.000, tetapi banyak yang memberi uang lebih dari Rp 5.000 kepada Riki.
Riki sebenarnya memendam angan untuk bisa sekolah. Sebab, ia bercita-cita menjadi polisi. Namun, kemiskinan yang menerpa orang tuanya, menunda Riki untuk sekolah setidaknya di taman kanak-kanak. ”Saya ingin sekolah, tapi sama bapak tidak boleh, kalau sama ibu boleh, tapi kami tidak punya uang, makanya saya bantu bapak jadi tukang parkir,” ucap Riki penuh keluguan.
Pengelolaan anggaran buruk
Kisah Riki merupakan ironi di ”Bumi Serambi Mekkah”. Pasca perundingan damai antara Gerakan Aceh Merdeka dan Indonesia di Helsinki, Finlandia pada 2005, geliat perekonomian Aceh mendapatkan dukungan luar biasa.
Tak kurang Rp 27,4 triliun akumulasi dana otonomi khusus yang ditransfer ke Aceh dari 2008-2013. Bahkan, Aceh tercatat sebagai provinsi dengan APBD tertinggi ketujuh di Indonesia pada 2010.
Kendati dana berlimpah, Aceh masih tertinggal. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik 2013, angka kemiskinan di Aceh sebesar 17,6 persen. Angka itu tergolong tinggi dibandingkan rata-rata nasional sebesar 11,37 persen.
Koordinator Bidang Anggaran dan Kebijakan Publik Masyarakat Transparansi (Mata) Aceh Hafidh Polem mengatakan, kondisi demikian akibat buruknya pengelolaan anggaran di Aceh. APBD Aceh 2013 sebesar Rp 11,7 triliun, tetapi mayoritas habis untuk belanja pegawai Rp 1,62 triliun. Padahal, alokasi umum Aceh hanya Rp 1,09 triliun.
Situasi diperparah Pendapatan Asli Daerah (PAD) Aceh yang cenderung stagnan. Tahun 2013, Aceh menargetkan PAD sebesar Rp 1,2 triliun. Angka ini sedikit lebih besar daripada capaian riil PAD 2012, yakni Rp 904 miliar. Lima tahun terakhir, PAD Aceh hanya tumbuh 10,9 persen yang jauh dari rata-rata nasional 19 persen.
”Di sisi lain, penyaluran dana hibah dan bantuan sosial untuk masyarakat tidak tepat sasaran. Temuan BPK Aceh, penyaluran dana hibah dan bantuan sosial dari APBD Aceh 2012 senilai Rp 6 miliar bermasalah. Modusnya, antara lain rekayasa dokumen persyaratan penerima bantuan, penerima fiktif, dan ada yayasan/organisasi yang menerima dana berulang,” kata dia.
Kepala Dinas Sosial Aceh Bukhari menuturkan, pemerintah telah berupaya untuk meretaskan kemiskinan dengan menjalankan sejumlah program, seperti Usaha Ekonomi Produktif, Kelompok Usaha Bersama, dan Keluarga Harapan. ”Namun, dana yang tersedia tidak sebanding dengan besarnya masalah. Butuh waktu bertahap untuk menyelesaikan kemiskinan yang mencapai 17,6 persen,” tutur dia. (ADRIAN FAJRIANSYAH)
ironis ….
Yuk mampir ke blog pelangi, ada postingan menarik lho di sini : https://pelangiituaku.wordpress.com/2015/01/11/cara-mencerahkan-kulit-dengan-kojiesan/
Tinggalkan jejak dikolom komentar ya 🙂
Ironis, memang. Ngomong-ngomong, sepertinya kita sering sekali mendengar ini ya: “Sebenarnya kita bisa ini-itu, tapi sayang dananya kurang.” 🙂
prihatin
Hiks hikss,… sediihhhh 😦
apa ndak ada yang melaporkan keadaan riki, biar dpt beasiswa gitu, kasiann
iyah.. sudah, para wartawan yang melaporkannya.. 😀