DI BALIK PERJALANAN
Panas Dingin di Pulau Bunga

Senja di Labuan Bajo, Manggarai Barat, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. (BY ADRIAN FAJRIANSYAH)
Mendapatkan tugas meliput Jelajah Sepeda Flores 2017 oleh Harian Kompas merupakan keberuntungan, khususnya bagi saya, Adrian Fajriansyah (DRI). Sebab, ini pengalaman pertama kali buat saya menginjakkan kaki ke wilayah Indonesia bagian timur walaupun Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur masih tergolong dalam Waktu Indonesia Bagian Tengah/WITA.
Dalam benak saya, Pulau Flores merupakan daerah yang gersang sebagaimana wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT) lain. Hal ini karena stigma media yang selalu memberitakan tentang kekeringan panjang di wilayah NTT walaupun sebenarnya itu hanya terjadi di beberapa wilayah saja. Akibatnya, saya memukul rata bahwa semua wilayah NTT, termasuk Pulau Flores gersang dan panas luar biasa.

Mentari pagi di Maumere, Sikka.

Tari penyambutan khas Sikka.

Pesta rakyat pelantikan kepala desa di seluruh Sikka.

Pesta rakyat pelantikan kepala desa di seluruh Sikka.

Pesta rakyat pelantikan kepala desa di seluruh Sikka.

Pesta rakyat pelantikan kepala desa di seluruh Sikka.

Potret warga Maumere, Sikka.
Hal ini mempengaruhi persiapan saya ketika hendak berangkat ke Pulau Flores pada 31 Juli pagi lalu. Dari tempat tinggal saya di Palembang, Sumatera Selatan, saya hanya membawa satu buah jaket yang biasa saya gunakan untuk naik sepeda motor. Jaket itu teramat tipis. Saya pikir, jaket itu cukup untuk menghalau dingin, terutama ketika malam di Pulau Flores. Saya pikir, suhu di sana paling dingin pasti tak lebih rendah dari 25 derajat celcius.
Lalu, sesampai di Kantor Kompas di Jakarta pada 31 Juli siang, saya bertemu dengan Ketua Kompas Jelajah Sepeda Jannes Eudes Wawa atau biasa saya sapa dengan panggilan Mas Jannes. Ketika itu, Mas Jannes bertanya apakah saya sudah menyiapkan jaket. Lalu, saya jawab sudah, satu buah jaket sepeda motor. Mas Jannes terjekut dan langsung berkata, ”nanti di sana, kita bakal tidur paling sedikit di empat lokasi dingin loh Dri. Jaket mu itu ga cukup.”
Saya lalu bertanya, ”berapa suhu paling dingin di sana?” Mas Jannes menjawab, ”di Kelimutu, Ende, suhu terdingin bisa mencapai 7 derajat celcius.” Saya sontak terkejut walaupun tetap tak yakin. Namun, untuk jaga-jaga, saya akhirnya membeli jaket baru yang lebih tebal di toko peralatan outdoor tak jauh dari kantor. Di toko itu, saya pun membeli jaket berbahan polar. Pemilik toko sempat menawarkan saya membeli sarung tangan dan kaus kaki tebal. Tetapi, saya menolak karena masih tak yakin di Pulau Flores sedingin yang dikatakan Mas Jannes. Untuk itu, saya pikir beli satu jaket polar saja sudah cukup.

Gereja tua peninggalan Portugis di Desa Sikka.

Penenun kain khas Sikka.

Penenun kain khas Sikka.

Potret para penenun kain khas Sikka.

Warga masih setia menggunakan kain khas daerahnya.

Warga masih setia menggunakan kain khas daerahnya.
Tanggal 1 Agustus, saya bersama dua senior saya, wartawan di Batam Kris R Mada (RAZ) dan fotografer Agus Susanto (AGS) tiba di Pulau Flores. Kami melakukan beberapa liputan di wilayah Maumere, Kabupaten Sikka dan Larantuka, Kabupaten Flores Timur. Di dua lokasi ini, suhu cukup panas karena berada di pesisir utara Flores. Untuk sementara, dugaan ku benar. Flores itu panas. Saya pun makin yakin membeli satu jaket polar kemarin sudah sangat cukup, bahkan mungkin akan mubazir.
Namun, setiba di kawasan Kelimutu pada 4 Agustus, keraguan ku atas suhu dingin di wilayah pegunungan Pulau Flores terjawab. Ternyata, suhu di pegunungan Flores amatlah dingin. Di puncak Gunung Kelimutu, suhu bisa mencapai 7-5 derajat celcius. Padahal, gunung ini notabene tidak terlalu tinggi, yakni 1.639 meter dari permukaan laut (mdpl). Tetapi, suhu di puncaknya sudah sedingin gunung yang bertinggi lebih dari 2.000 mdpl, seperti di puncak Gunung Dempo (3.173 mdpl), Sumatera Selatan. Bahkan, ketika menunggu matahari terbit sekitar pukul 05.00 di sana, tangan saya beku dan tidak bisa digerakan.

Pasar penjual kuda yang digunakan untuk belis atau mahar pernikahan di Sikka.

Pasar penjual kuda yang digunakan untuk belis atau mahar pernikahan di Sikka.

Pasar penjual kuda yang digunakan untuk belis atau mahar pernikahan di Sikka.
Pengalaman kedinginan di wilayah pegunungan Flores saya alami di tiga tempat lain, yakni di Kota Bajawa, Kabupaten Ngada dengan suhu terendah sekitar 14 derajat celcius, di Kota Ruteng, Kabupaten Manggarai dengan suhu terendah sekitar 16 derajat celcius, dan di Desa Waerebo, Manggarai dengan suhu terendah sekitar 14 derajat celcius.
Saat itulah saya berpikir saya salah perhitungan. Saya menyesal tidak membawa jaket lebih tebal, tidak membawa sarung tangan, tidak membawa kaus kaki tebal, dan tidak membawa kantung tidur. Padahal, semua peralatan itu saya punya. Penyesalan ini makin memuncak ketika saya ikut kamping di kaki Kelimutu pada 14 Agustus. Saya tidak bisa tidur karena suhu terlalu dingin. Padahal, saya sudah memakai jaket dua lapis, memakai sepatu, memakai sarung, dan memakai kupluk atau penutup kepala. Bahkan, karena tidak bisa tidur, saya harus pergi ke salah satu mobil panitia Jelajah Sepeda Flores untuk menghangatkan diri.

Pagi di Larantuka.

Pagi di Larantuka.

Pagi di Larantuka.

Lokasi Semana Santa di Larantuka.

Panorama laut dan gunung di sekitar Larantuka.

Ibu-ibu Larantuka menanti ikan di pagi hari.

Bocah Larantuka yang ceria.

Bocah Flores Timur yang selalu ceria di tengah keterbatasan.

Bocah Flores Timur yang selalu ceria di tengah keterbatasan.

Potret perempuan Flores Timur.

Potret warga Flores Timur.

Rumah di pesisir Flores Timur.
Bunga sebenarnya
Tidak salah bila misionaris Portugis memberi nama pulau seluas kurang lebih 14.300 kilometer persegi ini dengan istilah Flores atau bunga. Pulau yang sebelumnya dikenal dengan istilah Nusa Nipa (Pulau Ular) ini memang seperti bunga, indah dan menawan. Betapa tidak, hampir setiap sudut daerah ini merupakan lokasi wisata. Pesisir utaranya terkenal dengan pantai-pantai berpasir putih nan menawan. Pesisir selatannya terkenal dengan laut perawan yang biru jernih. Wilayah pegunungannya hijau mempesona.
Belum puas dengan pesona alamnya, mata kita pun dimanjakan dengan kekayaan adat, budaya, dan hasil alam wilayah ini. Flores terkenal sebagai surganya sejarah. Di sini, segenap adat istiadat dan budaya tua masih terjaga, terutama peninggalan masa megalitikum. Hal ini bisa dilihat jelas di sejumlah perkampungan adat di sana, antara lain Kampung Bena di Ngada, Kampung Todo di Manggarai, dan Kampung Waerebo di Manggarai.

Pagi di Kelimutu.

Pagi di Kelimutu.

Pagi di Kelimutu.

Pagi di Kelimutu.

Pagi di Kelimutu.

Potret warga Kelimutu.

Potret warga Kelimutu.

Potret warga Kelimutu.
Di kampung-kampung itu, warga masih menjaga bentuk asli rumah adat yang didirikan leluhurnya sejak masa megalitikum. Jejak megalitikum pun masih tampak jelas di kampung-kampung tersebut, seperti keberadaan menhir atau batu tegak untuk memuja arwah leluhur di tengah kampung. Usia kampung-kampung tersebut diperkirakan paling muda sekitar 1.200 tahun.
Selain memelihara rumah adat, warganya pun masih kuat menjaga tradisi yang diwariskan nenek moyangnya. Salah satu tradisi kuat itu, antara lain menenun. Wanita Flores wajib bisa menenun sebelum menikah. Menenun merupakan lambang kemandirian wanita Flores. Lewat menenun, wanita Flores bisa memastikan keberadaan pakaian untuk anggota keluarganya. Mereka pun bisa menjual hasil tenun itu untuk menambah penghasilan keluarga. Hingga kini, di kampung-kampung itu, kita masih bisa melihat wanita-wanita Flores menenun di depan halaman rumah. Bahkan, sebagian masih menenun menggunakan benang alami, seperti yang terbuat dari kapas.

Hasil alam di pegunungan Ende.

Sawah terasering di Ende.

Pantai Batu Hijau di Ende.

Pantai Batu Hijau di Ende.

Pantai Batu Hijau di Ende.
Orang Flores pun masih sangat menjaga tradisi dalam menerima tamu. Bahkan, ketika rombongan Jelajah Sepeda Flores tiba di kabupaten-kabupaten yang dilewati, masyarakat maupun pemerintah setempat menyelenggarakan tradisi penyambutan secara adat. Di wilayah Manggarai, dari Manggarai Timur, Manggarai, hingga Manggarai Barat, paling sedikit rombongan tersebut tiga kali disambut secara adat. Setiap disambut, perwakilan rombongan mendapatkan ayam dan moke, minuman keras khas Flores yang terbuat dari tanaman lontar.
Setelah terpesona dengan adat istiadat dan budayanya, kita masih akan terpesona dengan hasil alam Flores, seperti kopi. Bahkan, salah satu kopi dari wilayah Flores terkenal sebagai salah satu kopi terbaik di dunia, siapa tak kenal kopi arabika Bajawa dari Ngada. Jauh sebelum kopi arabika Bajawa terkenal, Flores sudah dikenal dengan beberapa kopi lain dari wilayah Manggarai, seperti juria colol dan yellow caturra.

Ibu-ibu penyortir kopi Bajawa.

Menjemur kopi Bajawa.

Menyortir kopi Bajawa.

Warga Bajawa duduk di depan rumah adanya, Saoadha.

Potret perempuan Bajawa.

Bocah Bajawa.

Rumah adat Bena di Ngada.

Rumah adat Bena di Ngada.

Rumah adat Bena di Ngada.
Bahkan, juria colol dipercaya sebagai induk dari seluruh kopi di pulau itu. Sebab, kopi pertama di Flores ditanam di daerah Colol yang kini termasuk di Kabupaten Manggarai Timur. Pengakuan atas mutu kopi colol, antara lain hadiah bendera Belanda dari Kerajaan Belanda kepada petani setempat pada 1937. Sekarang, bendera itu menjadi pusaka di wilayah tersebut.
Lepas terpesona dengan hasil alam, kita kembali terpesona dengan kekayaan fauna di pulau itu. Di ujung barat Flores, tepatnya di Manggarai Barat terdapat sebuah pulau yang menyimpan satwa zaman dinosaurus, yakni komodo. Reptil terbesar di dunia ini hanya ada di pulau yang diberi nama sesuai dengan satwa langka yang mendiaminya. Bahkan, pada 2012, Pulau Komodo ditetapkan sebagai salah satu dari Tujuh Keajaiban Dunia yang baru.

Gunung Ebulobo, salah satu gunung api tertinggi di dataran tinggi Manggarai.

Gunung Ebulobo, salah satu gunung api tertinggi di dataran tinggi Manggarai.

Gunung Ebulobo, salah satu gunung api tertinggi di dataran tinggi Manggarai.

Gunung Ebulobo, salah satu gunung api tertinggi di dataran tinggi Manggarai.
Setiap sudut indah difoto
Datang ke Pulau Flores akan menjadi kebingunan tersendiri bagi pecinta fotografi. Sebab, hampir setiap sudut wilayah Flores indah, sensual, dan menggoda untuk difoto. Bila tak bijak dalam mengambil foto, bisa dipastikan memori foto sebanyak apapun tidak akan pernah cukup untuk menyimpan foto-foto tersebut.
Hal ini yang saya rasakan ketika tiba di Pulau Padar, Manggarai Barat. Pulau yang fotonya amat terkenal yang sering menghiasi sampul majalah wisata kelas nasional maupun internasional ini sangat fotogenik. Hampir setiap sudut wilayahnya indah difoto. Sejak tiba di pulau yang terkenal dengan dua teluk di sisi kiri dan kanannya ini langsung menggoda untuk difoto. Betapa tidak, pasir pantainya putih bersih, lautnya biru jernih, pulaunya berumput hijau kekuningan nan eksotis, dan langitnya biru menggoda. Siapa pun yang melihat, pasti buru-buru ingin berfoto ria di pulau ini.
Bahkan, setiap langkah kaki saya di pulau ini berakhir dengan foto minimal tiga kali jepretan. Tak heran, dari awal naik, mencapai puncak pulau, hingga turun lagi ke bawah, saya menghabiskan ratusan kali shutter camera. Andai saja sekarang bukan zaman digital, mungkin saya sudah menghabiskan puluhan rol film hanya untuk di satu lokasi saja.

Pagi di Ruteng.

Pagi di Ruteng.

Pagi di Ruteng.

Pagi di Ruteng.

Pagi di Ruteng.

Danau Rana Mese, Manggarai.

Sawah terasering di Manggarai.

Sawah terasering di Manggarai.

Sawah terasering di Manggarai.

Perempuan Manggarai membawa kayu bakar.

Bocah Manggarai membawa kayu bakar dan pakan ternak.

Potret bocah Manggarai pencari pakan ternak.

Sawah jaring laba-laba khas Manggarai.

Sawah jaring laba-laba khas Manggarai.

Sawah jaring laba-laba khas Manggarai.

Sawah jaring laba-laba khas Manggarai.

Panorama Manggarai.

Panorama Manggarai.

Panorama Manggarai.

Bocah Kampung Todo, Manggarai.

Kampung Todo, Manggarai.

Warga Kampung Todo, Manggarai.

Warga Kampung Todo, Manggarai.
Begitupun ketika berkunjung ke Pulau Komodo, selain melihat satwa langka itu, wilayah ini pun menyimpan banyak objek indah lain. Objek-objek itu, antara lain pantai pasir putih, kapal-kapal pesiar yang lalu-lalang, rusa-rusa liar di pinggir pantai ataupun dalam hutan, dan jika beruntung melihat sejumlah anggrek lokal.
Balik dari Pulau Komodo, kamera harus tetap siap siaga di tangan. Sebab, pantai pink pun menggoda difoto. Kali ini, bukan hanya pantainya unik karena berpasir merah muda melainkan taman lautnya yang amat eksotis. Terumbu karang bisa dilihat kasat mata dari atas permukaan laut. Jadi, walaupun tak ikut snorkling atau diving, kita pun bisa menggabadikan foto bawah laut yang indah dari atas kapal.

Kampung Adat Waerebo, Manggarai.

Kampung Adat Waerebo, Manggarai.

Kampung Adat Waerebo, Manggarai.

Upacara 17 Agustus di Waerebo, Manggarai.

Upacara 17 Agustus di Waerebo, Manggarai.

Upacara 17 Agustus di Waerebo, Manggarai.

Upacara 17 Agustus di Waerebo, Manggarai.

Warga Waerebo, Manggarai.

Warga Waerebo, Manggarai.

Warga Waerebo, Manggarai.

Warga Waerebo, Manggarai.

Pantai selatan Flores.

Pantai selatan Flores.

Pantai selatan Flores.

Pantai selatan Flores.
Berlanjut ke manta point, kita akan menyaksikan banyak wisatawan yang menyelam untuk melihat ikan mantarai di dalam laut. Kali in, kita tidak bisa memfoto ikan tersebut dari atas kapal. Sebab, ikan itu lebih banyak di dalam laut yang cukup dalam. Namun, di atas permukaan laut, kita bisa mengabadikan foto pulau-pulau indah di sekitar wilayah tersebut. Apalagi ketika memasuki senja, matahari terbenam berada di sekitaran pulau-pulau itu. Kamera pun akan tetap berulang kali digunakan untuk memfoto momen itu.
Itulah mengapa saya selalu berkata, mendapatkan tugas ke Flores merupakan suatu keberuntungan tak terduga ibarat mendapatkan durian jatuh. Selama 19 hari, dari 1 Agustus hingga 19 Agustus di sana, tak ada satu detik waktu yang terasa bosan. Semua sudut yang terlihat merupakan pengalaman baru yang amat menyenangkan dan berharga. Pulau Flores benar-benar bunga yang menggoda siapapun yang datang ke sana. Sekali datang, pasti ingin datang kembali, begitu pula saya yang akan selalu bermimpi untuk merasakan kembali panas-dingin di Nusa Nipa. (ADRIAN FAJRIANSYAH)

Senja di Labuan Bajo.

Senja di Labuan Bajo.

Senja di Labuan Bajo.

Pagi di Labuan Bajo.

Pagi di Labuan Bajo.

Pagi di Labuan Bajo.

Pagi di Labuan Bajo.

Pagi di Labuan Bajo.

Pulau Padar, Manggarai Barat.

Pulau Padar, Manggarai Barat.

Pulau Padar, Manggarai Barat.

Pulau Padar, Manggarai Barat.

Pulau Padar, Manggarai Barat.

Pulau Komodo, Manggarai Barat.

Komodo di Pulau Komodo, Manggarai Barat.

Komodo di Pulau Komodo, Manggarai Barat.

Anggrek liar di Pulau Komodo, Manggarai Barat.

Pinky Beach di Manggarai Barat.

Pinky Beach di Manggarai Barat.

Pinky Beach di Manggarai Barat.

Kampung nelayan Bugis di lautan Manggarai Barat.

Senja di kampung nelayan Bugis di lautan Manggarai Barat.

Pulau Flores direkam dari atas pesawat menandakan berakhirnya perjalanan 19 hari ku di Pulau Bunga ini.